Pewaris pertama
Pewaris pertama |
Kubiarkan cairan kental itu memenuhi rongga mulutku. Perlahan mata gadis itu semakin berkerut sebelum akhirnya membuka. Seperti yang kuduga. Gadis itu menjerit keras-keras menyadari ketelanjangannya. Menyenangkan. Kujilat bibir bawahnya serentak memegangi kepalanya supaya tidak berpaling. Gadis itu menggeliat, mencoba meronta melepaskan belenggu di tangannya. Tapi tentu saja usaha yang sia-sia. Kuangkat rok biru gadis itu. Pahanya yang tercancang membuka, membuatku leluasa untuk menyentuh dan memainkan lipatan vaginanya. Gadis itu melenguh dan jejak-jejak air mata mulai tampak di pipinya yang lembut.
Aku semakin bergairah saat gadis itu mengerang. Kuangkat tubuhku dan berdiri di belakangnya. Kubuka reitsleting celanaku dan membiarkan penisku yang menegang keluar. Gadis itu terus menggeliat. Menggeliat saat kutarik celana dalamnya menelusuri kulit kakinya yang putih mulus. Kugenggam penisku, menggerakkannya dengan cepat. Kurasakan nafsu sudah mencapai ubun-ubun kepalaku. Kujulurkan jemariku dan meraba liang vagina gadis itu. Si gadis meronta, mengejang sesaat, mengerang dan menjerit. Namun aku terlalu bergairah untuk memperhatikan ceceran darah di lantai yang membentuk pola tak menentu.
Dengan gerakan perlahan kuturunkan pinggulku dan menyusupkan batang penisku di lipatan pahanya. Gadis itu menjerit tertahan dan berusaha memalingkan wajahnya ke belakang. Matanya mendelik menatap senyumku. Aku menyukai kengerian yang terpancar darinya. Kulihat butir keringat mulai keluar dari pori-pori di kulit pantatnya. Indah sekali.
Kutekan batang penisku perlahan dengan gerakan vertikal. Sempit sekali. Kepala gadis itu terjatuh ke depan seiring rintihan tak jelas yang keluar dari bibirnya. Kuperhatikan batang penisku yang perlahan namun pasti menghilang di balik celah pantatnya. Geraman dan desahan keluar dari bibirku. Nikmat sekali. Gadis itu masih berusaha menggoyangkan pinggulnya ke kiri dan ke kanan. Masih berusaha menghindar. Tapi tidakkah itu justeru menambah kenikmatan yang kurasakan di ujung penisku? Tubuh gadis itu mulai melemas. Kugoyangkan pinggulku semakin cepat. Aliran darah membantuku memasuki liang vaginanya. Gemerincing rantai memenuhi ruangan. Hasratku semakin memuncak.
Dan kini ia memandangiku dengan sinis. Seperti biasanya. Lamunanku buyar seketika.
"Ngapain lihat-lihat?"
"Mel. Jangan ketus seperti itu."
"Biar saja. Lagian siapa yang mau dilihati olehnya."
Ah sudahlah. Jangan bertengkar. Kupalingkan saja wajahku menatap buku yang terbuka di bawah mataku. Angka-angka serasa menari-nari di hadapanku. Kudengar Mela mendengus kesal sebelum berlalu dari hadapanku. Yah, sudahlah. Lagipula aku masih punya urusan penting yang harus kuatasi sekarang juga. Penisku mengeras. Sampai terasa sakit terjepit meja.
"Whoi, si Helm lagi on!!" Suara teriakan itu mengejutkanku.
Anak-anak yang lain mulai berkerumun dan bergunjing di sebelahku. Beberapa dari mereka tertawa dan menudingku seraya mengeluarkan kata-kata cemoohan.
"Pasti kamu lagi membayangkan Mela. Iya kan?"
Aku membenci anak-anak sok tahu itu. Tapi mereka jauh lebih kuat dariku. Dan sekarang. Aku merasa wajahku panas seperti udang rebus. Beberapa anak memegangi kedua lenganku dan menarikku berdiri, seolah ingin memperlihatkan 'barang'ku yang menegang. Aku ingin menangis seketika itu juga. Kurasakan Mela menatapku.
Plakk!!
"Kurang ajar."
"Sudah, Mel. Ayo kita keluar."
Mama. Aku ingin pulang. Kurontakan lenganku dan berlari sekencang mungkin menuju gerbang sekolah. Aku tak perduli seruan beberapa siswa dan guru di belakangku. Aku tak perduli tawa mereka yang begitu menyakitkan. Tapi mengapa suara-suara itu justru menukik di gendang telingaku, walau sudah kututup rapat-rapat? Kutubruk jeruji gerbang yang terkunci itu. Air mataku sudah terlalu banyak untuk kubendung.
Mama. Aku ingin pulang. Sekarang juga.
"Nih. Jangan cengeng. Lelaki harus tegar."
Sebuah sapu tangan coklat menempel di punggung lenganku.
Kak Ray??
Anak itu tertawa dengan gaya begitu menyebalkan.
"Lalu begitu saja kamu menangis? Hahahaha. Alangkah tololnya."
"Tapi, Kak," aku mulai bergumam.
"Sini, aku ajak kamu menemui seseorang."
Wah. Ini sesuatu yang tak pernah kusangka. Kapten tim basket mengajakku pergi bersamanya? Tapi ini masih jam sekolah.
"Cuek saja. Ayo."
Kak Ray membisikkan beberapa kata kepada penjaga sekolah yang lalu memandangiku dengan penuh perhatian. Ketakutan mulai menyelubungiku. Tapi Mas pejaga sekolah itu malah tersenyum padaku dan membuka gembok gerbang.
"Ayo. Sebelum orang-orang usil itu datang."
Tanpa berpikir panjang kuikuti langkah Kak Ray keluar.
Dan kini aku bersama Kak Ray di atas Tiger-nya. Benar-benar merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagiku dapat memeluk pinggangnya dan merasakan rambut tebalnya menyapu wajahku. Seandainya anak-anak itu dapat melihatku sekarang. Seandainya Mela melihatku sekarang.Dia pasti akan menaksirku tanpa banyak cing-cong.
"Kita ke mana, Kak?"
"Ke rumah teman."
"Oh." Dan bahkan kini aku bisa mencium bau asap rokok itu menyerang hidungku. Ini benar-benar luar biasa. Aku dan Kak Ray. Di atas motor kesayangannya. Koboi sekolah. Aku seolah dapat merasakan kenikmatan yang pasti dirasakan juga oleh Kak Ray.
"Sinting. Ngapain kamu di sini?"
Kupandangi anak-anak bercelana abu-abu itu dengan was-was. Bagaimana kalau mereka mengompasiku? Tapi Kak Ray malah tampak tenang-tenang saja. Senyum masih mengembang di bibirnya.
"Ini namanya Warung Ibu," Kak Ray menatapku tanpa menghiraukan sapaan sinis dari beberapa anak. Sinis, setidaknya menurutku.
"Hoy, Ray. Ngapain ke sini?"
"Heheh," Kak Ray tertawa," mana Kak Kemal?"
Beberapa anak yang lain tertawa. Salah seorang yang paling dekat dengan Kak Ray merogohkan jemarinya ke kantung baju Kak Ray dan mengambil sebungkus Marlboro.
Setelah menyalakan rokoknya, anak yang barusan berteriak.
"Mal!"
Seraut wajah menoleh dari samping warung. Sekejap aku terkesiap merasakan kemiripan wajah itu dengan wajah Kak Ray. Bukan wajahnya, tapi pandangan matanya. Setengah terkatup, nakal dan menggoda. Kulirik Kak Ray yang tersenyum simpul. Orang yang duduk lesehan di samping warung itu juga tersenyum.
"Hik hik hik, sini Ray."
Tawa itu sedikit menyeramkan. Tapi getarannya penuh daya tarik. Aku jadi teringat cersil Kho Ping Hoo, tentang semacam tenaga dalam yang bisa tersalurkan lewat getaran suara. Tapi aku tak bisa tersenyum saat itu. Hanya mengikuti langkah Kak Ray. Aku bahkan tak berani duduk lesehan di atas trotoar dimana orang itu duduk. Aku memilih duduk di pinggir trotoar, setengah menggantungkan pantatku.
Kulihat Kak Ray tertawa-tawa dengan orang itu, mengatakan hal-hal yang tak jelas di telingaku, sambil sesekali melirikku penuh arti.
"Hik hik hik, jadi begitu ceritanya. Hey, sini kamu."
Tawa seram itu lagi. Tapi kali ini aku seperti tertarik mendekati orang itu. Lagipula, ia memanggilku. Kak Ray hanya tersenyum. Orang itu menatapku. Kulihat lingkaran tengah matanya yang kecoklatan seakan berusaha menelanjangiku. Lalu orang itu terkekeh.
"Hik hik hik, persis Ray dua tahun yag lalu. Kacangan."
Kulihat Kak Ray tertawa sambil menggaruk-garuk rambutnya.
"Jangan begitu ah, Kak."
"Benar, kok. Lengkap dengan sisa air matanya."
Air mata?
Jadi dulu Kak Ray..
"Kita perkosa saja rame-rame."
"Telanjangi, perkosa, potong tujuh.."
"..buang ke semak-semak."
"Gantung, diperkosa. Pokoknya 'salome'."
"Sodomi."
"Ah, dasar maniak."
Kulihat wajah-wajah itu seolah menjadi begitu liar. Dan Kak Ray duduk diantara mereka seolah-olah merupakan bagian dari kerumunan itu. Aku sebenarnya tak menyukai suasana buas ini, tapi kupaksakan diriku untuk tetap tertawa. Lagipula aku sempat membayangkannya pagi tadi.Kulihat Kak Kemal--kami sudah berkenalan tadi-- menghisap rokoknya dan menghembuskan asap dari sudut bibirnya.
"Bagaimana, Rik? Kamu mau?"
"T..tidak usah r..repot-repot, Kak."
Aku ingin memaki diriku sendiri, mengapa aku bisa membuat mereka tertawa saat itu. Termasuk Kak Ray.
"Hey," salah seorang dari kakak-kakak itu berseru, "Tak perlu sungkan dengan kami. Teman Ray berarti teman kami juga."
"I..iya, K..kak."
Aku sangat ingin memaki diriku.
"Kamu mau tahu apa yang dibuat Ray tempo dulu?"
"Wah, ini off the record, Kak."
Nada Kak Ray terdengar memprotes. Tapi mataku yang memancarkan sinar keingintahuan tak bisa menipu mereka.
Kak Kemal mendekatiku dan berbisik lirih.
"Ia menelanjangi mereka semua. Satu demi satu. Helai demi helai.."
"Kak!!"
"..lalu.. menjilati kemaluan mereka dan meminum cairan mereka sepuasnya. Bergantian. Dari hari ke hari. Dan mereka begitu terpesona, bahkan kami sendiri nyaris tak kebagian."
Kerumunan anak SMA itu tertawa bersamaan, salah seorang dari mereka menimpali, "Nyaris semua. Kecuali kamu, Mal." Dan yang ditimpali hanya terkekeh. Seolah merasa bangga. Wajah Kak Ray terlihat memerah.
"Tentu, dong. Mana mungkin murid mengalahkan gurunya, hik hik hik."
Kutatap Kak Kemal dengan penuh kekaguman. Bahkan Kak Ray yang selalu gonta-ganti pacar masih mempunyai seorang guru.
"Aaahh.." tanpa sadar desahan itu keluar dari mulutku.
"Kamu mau seperti dia, Rik?"
Mendadak suasana menjadi begitu khidmat. Semua mata --termasuk Kak Ray-- menatapku dengan penuh tanda tanya. Kurasa jawabanku sudah jelas.
"Pertama, jangan pakai poni. Menjijikkan."
Aku hanya bisa mengiyakan saat Kak Ray membawaku ke salon. Beberapa saat kemudian aku sudah memandangi rambutku yang baru. Cepak dan berdiri seperti kaktus. Wajahku malah nampak bundar. Kak Ray tersenyum menatapku.
"Begini lebih bagus."
Masa?
"Kedua, berpakaian lebih funky. Jangan semua dimasukkan seperti anak kura-kura." Kak Ray menarik baju belakangku dan menyelipkan sedikit ujung baju ke celanaku. Aku yakin, kalau mama melihatku saat ini, pasti beliau akan sangat marah.
"Ketiga, tunjukkan bahwa kamu memiliki jati diri yang pasti." Kak Ray memasangkan gelang-gelang kain itu ke pergelanganku. Kuhitung-hitung semuanya berjumlah lima biji. Tiga di kanan, dan dua di kiri.
"Keempat, ayo ikut aku."
"Ke mana, Kak?"
"Ekskul Basket. Khusus kakak kelasmu."
"Hah?"
Dan baru aku ketahui bahwa basket itu menyenangkan. Kak Ray meyakinkan sahabat-sahabatnya bahwa aku 'harus' diterima mulai saat itu. Kurasakan keringat menetes membanjiri sekujur tubuhku saat aku berlari, melompat. Kakak-kakak yang lain dengan ramah mengajariku cara melakukan dribbling, pivot, shooting, dan berbagai atraksi lainnya. Aku sedikit kecewa saat ekskul berakhir. Sementara aku masih belum menghapal benar setiap gerakan yang mereka ajarkan.
"Nih. Bawa pulang. Main di rumah saja."
Kutangkap bola basket itu. Luar biasa. Semua kakak pelatih menatapku dan tersenyum mengangguk.Aku kini salah seorang dari mereka. Luar biasa.
Setelah mengantarku sampai ke depan rumah, Kak Ray menyodorkan tas sekolahku. Katanya, tas ini tadi dititipkannya pada salah seorang sahabatnya. Mungkin lebih tepat disebut 'bawahannya'?
"Di sini pelajaran ke lima, jangan lupa mempelajarinya di rumah nanti." Kutatap pandangannya yang ramah. Sekejap aku mulai merasa ingin menangis. Tapi Kak Ray meninju lenganku dengan keras.
"Pelajaran selingan, jangan menangis seperti banci."
Kubusungkan dadaku dan berusaha menahan air mataku. Kak Ray tertawa dan berlalu sambil melambaikan tangannya.
"Jangan lupa, pelajari baik-baik."
Tentu saja, Kak.
Mama sekejap merasa heran dengan penampilanku yang begitu aneh. Tapi beliau lebih memilih untuk menggelengkan kepalanya. Papa malah menatapku dengan tersenyum.
"Kamu tampak seperti laki-laki."
Dan aku merasa benar-benar bangga. Ingin rasanya aku berteriak sekeras mungkin. Tapi aku segera berlari ke kamar dan membuka tasku dengan penuh penasaran.
"Teka-teki Kepribadian oleh bla bla bla."
Hanya ini?? Sebersit rasa kecewa merasukiku. Kubuka halaman pertama. Dan secarik kertas terjatuh. Segera kupungut dan kubaca. Akhirnya. Aku ingin menangis lagi. Tapi kubusungkan dadaku dan berlari ke depan cermin. Kutiru gerakan Kak Ray saat menjadi guard di ekskul basket tadi sore.
"Dan kalian gadis-gadis. Akan segera kujilat. Satu-persatu."
Rasa percaya diriku terasa surut seketika saat menyaksikan bayangan di depan cermin itu. Awut-awutan mungkin sebuah kata yang tepat. Tapi seperti kata buku semalam. Aku seorang sanguinis. Penuh percaya diri. Tapi mama tak boleh melihatku. Jadi kularikan saja tubuhku keluar tanpa berpamitan. Di sepanjang trotoar kupraktekkan gaya berjalan John Travolta dalam film Grease--persis gaya berjalan Kak Ray saat menelusuri lorong sekolah. Stylish. Penuh gaya. Kukunyah permen karet di mulutku dengan berirama.
It's a new me.
Ray Junior.
Si pewaris.
"Hahahaha.. huahahaha.."
Gendang telingaku terasa sakit. Semua anak menatapku dengan tertawa. Mata mereka menyipit seperti mata setan. Aku gila. Aku gila. Kulihat Mela menutupi mulutnya dan terbahak-bahak sampai mengeluarkan selembar tissue dari tasnya. Apakah aku sekonyol itu? Apakah kakak-kakak itu mempermainkanku? Tak mungkin. Kak Ray begitu baik. Buku itu. Aku harus cuek. Kutegakkan tubuhku dan melangkah mendekati salah seorang anak yang tertawa paling keras. Kudekatkan wajahku dan mendesis.
"Kamu..sirik, ya?"
Tawa-tawa itu terhenti seketika. Aku merasa sedikit lebih tangguh dari yang kukira. Tentu saja sebelum lengan-lengan itu meraihku dan menempelkan punggungku ke tembok.
"Heheh.. si Helm.. eh.. Kaktus ini sudah mulai rewel."
Aku tak boleh gemetar sekarang. Aku harus berani. Kuayunkan dengkulku sekuat tenaga dan menyaksikan anak di depanku terjatuh. Darahku tersirap, sejenak keringat dingin menyeruak tengkukku. Kurasakan anak-anak lain yang memegangiku sejenak ikut terdiam melihat reaksiku yang tak terduga. Mendadak suasana menjadi riuh rendah. Kupejamkan mataku saat kepalan tangan itu terangkat.
"Hey, Rik. Kok tidak segera datang? Kamu ditunggu loh."
Kubuka mataku perlahan. Kerumunan anak itu mendadak menyeruak. Seseorang berdiri dan bersandar di ambang pintu.
"Ayo, tunggu apa lagi?"
Kukembangkan senyumku melihat Kak Ray yang mengerutkan alisnya tak sabar. Beberapa gadis mulai kasak-kusuk di sebelahku. Anak yang terjatuh tadi tak mengucapkan sepatah katapun. Begitupula anak-anak yang memegangiku. Kalian baru tahu, ya? Aku salah seorang dari mereka. Kulangkahkan kakiku keluar kelas, bergabung dengan Kak Ray dan teman-temannya. Tak berapa jauh dari kelas, Kak Ray berbisik di telingaku.
"Bodoh. Jangan pernah memejamkan mata."
Beberapa kakak yang menguping tertawa. Kurasakan wajahku memerah.
Hubunganku dengan Kak Ray semakin dekat. Kak Ray mulai menjemputku sebelum ekskul basket, dan mengantarku pulang setelahnya. Aku sangat mengagumi kemampuan Kak Ray berkomunikasi dengan papa dan mama. Kedua orang tuaku sering membincangkan kebaikan-kebaikannya di meja makan. Aku merasa semakin bangga saat mereka menganjurkanku untuk bisa menjadikan Kak Ray sebagai teladanku.Anak-anak itu? Mereka tak pernah lagi mencemoohku setelah kejadian itu. Mereka justeru berubah seratus delapan puluh derajat. Anak-anak pria selalu mengerubungiku dan bertanya-taya tentang informasi terbaru di dunia elite kakak kelas. Gadis-gadis mulai melirik ke arahku dengan malu-malu. Beberapa dari mereka bahkan mulai dijodoh-jodohkan denganku. Aku sendiri tak menyadari perubahan yang terjadi padaku. Semenjak ikut ekskul basket beratku berkurang jauh. Pipiku yang semula seperti bakpao sekarang sudah mengempis--setidaknya istilah yang tepat menurutku. Buku yang diberikan Kak Ray padaku tempo hari sangat bermanfaat. Apalagi setelah aku berhasil memasuki kamarnya --yang ternyata sangat berantakan-- aku bisa membaca apapun yang aku inginkan. Mulai dari cara menjadi pendengar yang baik, cara berkomunikasi dengan orang-orang dengan keaneka ragaman mereka. Aku mulai bisa membuat mereka tertawa. Aku mulai bisa memberikan nuansa kehadiranku di tengah-tengah mereka. Dan itu sungguh menceriakan hidupku dari sisi yang belum pernah kualami sebelumnya. Sampai tiba pelajaran ke-enam. Wanita dan Cinta.
"Ehm, Rik. Mau temani aku ke tata usaha?"
"Huh?" Kupandangi wajah gadis itu dengan seksama. Dalam hati aku tertawa. Alangkah konyolnya gadis ini. Ternyata masih banyak gadis yang lebih cantik darimu. Lalu kenapa aku harus mau?
"Aku ma.."
"Please."
Dan kini aku berjalan mengiringinya ke ruang tata usaha. Menyebalkan. Mengingat betapa enam bulan lalu gadis ini menamparku di depan teman-temannya. Dan inilah. Dan itulah. Konyol benar.
"Rik, maafkan aku waktu itu."
"Oh, yang mana?"
"Jangan menggodaku," Mela menundukkan kepalanya, "Kamu tahu."
"Aku sudah lupa."
"Rik."
"Yang kamu menamparku? Wah, aku barusan lupa."
Kubiarkan gadis itu mencubit lenganku dan berlari malu-malu. Mendadak rasa suka itu datang lagi.
Pelajaran ke-enam kuhabiskan semalaman bersama Kak Ray di kamarnya. Kak Ray menunjukkan foto-foto gadis yang pernah dikencaninya. Aku terkagum-kagum melihat beberapa gadis yang berasal dari SMP lain. Selebihnya, aku berusaha keras mencerna semua yang dikatakannya dalam otakku. Semua. Sampai aku hapal.
Inikah rasanya?
Kubuka perlahan kancing baju gadis itu. Menelan air liurku saat menatap buah dada yang menyembul dari balik bra itu. Ingatanku melayang pada selorohan Kak Ray, "Payudara yang paling asyik adalah payudara muda yang sama sekali belum pernah tersentuh."
Itu sebuah kenyataan.
Kugerakkan lenganku dan menekan kulit payudara itu, merasakan kekenyalannya di jemariku. Mela mendesah dan meraba punggungku. Kujulurkan lidahku dan menjilat apapun yang bisa kujilat. Kususupkan jemariku ke balik cup bra-nya dan bergetar saat merasakan puting susunya. Luar biasa. Inikah yang dinamakan payudara? Inikah yang disebut puting susu? Kutarik cup itu ke atas dan membuka mataku lebar-lebar, mengamati setiap lekuk payudara di hadapanku. Mela mendesah saat kukecup puting susunya. Gadis itu menggeliat penuh kenikmatan. Kugerakkan lidahku seperti yang diajarkan Kak Ray padaku semalam. Letter U. Letter S. Letter O. Dan dapat kudengar desahan itu keluar dari bibirnya.
Itu yang pertama.
Sebulan berikutnya aku mulai sedikit jarang menghabiskan waktu bersama Kak Ray, kecuali saat ekskul basket seminggu dua kali. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku bersama Mela. Menjelajahi dan menemukan apa yang belum pernah kualami sebelumnya. Saat itu aku sudah mulai berani menelanjangi tubuh atasku dan tubuh atasnya, menempelkan ketelanjangan dada kami satu dengan lainnya. Jemariku mulai beraksi dengan lebih mahir. Aku mulai bisa memagut bibirnya sementara tanganku beraksi di dadanya. Jilatan-jilatanku pada puting susunya mulai terasa mengalir seperti kebiasaan sarapan pagi.
Bulan kedua.
Aku mulai berani mempertontonkan kemaluanku padanya. Bersama kami mempelajari cara-cara melakukan masturbasi satu dengan lainnya. Ketakjubanku saat melihat vagina untuk yang pertama kalinya di depan mataku menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan. Aku menyukai kelembaban liang itu saat jemariku menyentuh dan memainkan bibir-bibirnya. Aku menikmati setiap desahan yang keluar dari bibirku saat jemari Mela memainkan batang penisku. Mela sempat menjerit kaget saat spermaku menyembur dan membasahi telapak tangannya. Tepat di minggu ke tiga bulan kedua aku bersamanya, aku sudah memberanikan diri untuk menjilat kemaluannya. membiarkan wajahku dibasahi oleh cairannya. Kata-kata Kak Kemal selalu terngiang di telingaku.
"..lalu.. menjilati kemaluan mereka dan meminum cairan mereka sepuasnya. Bergantian. Dari hari ke hari. Dan mereka begitu terpesona.."
Dan aku mengerang saat Mela mencium kemaluanku dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Benar-benar sebuah perasaan yang luar biasa. Apakah gadis-gadis yang lain juga serupa? Bergantian. Aku juga menginginkan mereka.
Bulan ketiga minggu kedua.
Saat itu aku bahkan masih bisa terkagum-kagum dengan Kak Ray, guruku dan sahabatku. Bahkan dengan kebengalannya, ia masih bisa menduduki rangking di sepuluh besar danem tertinggi di SMP kami. Walaupun bukan tiga besar, tapi tetap sebuah prestasi yang mengagumkan. Saat itu aku sudah positif memenangkan pemilihan Ketua OSIS. Temanku sudah begitu banyaknya. Mela juga semakin dekat denganku. Gadis-gadis sudah mulai bersuit saat aku lewat. Tak ada yang kurang dalam hidupku. Apalagi setelah papa membelikanku sebuah Honda Tiger hijau metalik. Persis seperti kepunyaan Kak Ray. Kudengar Kak Kemal juga sudah lulus dengan nilai memuaskan. Aku juga harus bisa. Kutekadkan itu. Pandai dalam bergaul dan cerdas akademik.
"Rik, mulai sekarang kamu sendiri. Sanggup?"
"Sanggup, Kak." Kupandangi STTB dan Danem yang terselip di lengannya. Aku ingin memeluknya saat itu juga.
"Aku setelah ini di kompleks. Kalau ada apa-apa, aku di Warung Ibu."
"Ya, Kak."
"Pelajaran selingan, jangan menangis."
Ia tahu. Tapi aku tak perduli. Kak Ray tersenyum dan menyeka air mata di pipiku, "Bodoh. Oh, ya. Pelajaran ketujuh. Tentang berhubungan seksual.."
"Aku tahu, Kak. Aku tahu," isakku.
"Oh, baguslah."
"Aku sudah melakukannya. Dengan Mela. Luar biasa."
Aku tersenyum, mengharapkan pujian darinya.
Tapi Kak Ray mengangkat lengan kanannya dan menepukkannya di dahinya sendiri. Wajahnya terlihat pucat dan matanya membelalak.
"K..kenapa, Kak?"
"Pelajaran terakhir.. jangan sampai terjebak dan terikat."
Kudengar Kak Ray mendesah menatapku.
Kurasakan jantungku berdegup kencang.
"Jangan terjebak. Jangan terikat."
Satu-satunya jurus yang tersisa.
Satu-satunya yang terlewatkan.
Masa depan mendadak terbentang terlalu jelas di depan mataku.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar